Rabu, 27 Juni 2012

SYIRKAH

A.    PENGERTIAN SYIRKAH
Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur/bercampur). Adapun menurut istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Terkadang syirkah ini terbentuk tanpa disengaja, misalnya berkaitan dengan harta warisan. demikian di nyatakan oleh Taqiyuddin. Maksud bercampur di sini ialah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk di bedakan.
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Pengertian secara fiqih
Adapun menurut makna syara’, syirkah adalah suatu akad/perjanjian antara dua pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan kerja sama dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Transaksi syirkah tersebut mengharuskan adanya ijab dan kabul sekaligus, sebagaimana layaknya transaksi yang lain. Bentuk ijabnya adalah : “Aku mengadakah syirkah dengan Anda dalam hal ini.” Kemudian yang lain menjawab : “Aku terima.” Akan tetapi, tidak harus selalu menggunakan ungkapan di atas, yang penting maknanya sama. Artinya, di dalam menyatakan ijab dan kabul tersebut harus ada makna yang menunjukkan bahwa salah satu di antara mereka mengajak kepada yang lain baik secara lisan maupun tulisan untuk mengadakan kerjasama (syirkah) dalam suatu hal. Kemudian yang lain menerima syirkah tersebut. Oleh karena itu, adanya kesepakatan untuk melakukan syirkah saja masih dinilai belum cukup. Termasuk kesepakatan memberikan modal untuk syirkah saja juga masih dinilai belum cukup. Tetapi harus mengandung makna berkerjasama (melakukan syirkah) dalam suatu hal.
Imam Bukhari meriwayatkan melalui Sulaeman bin Abi Muslim, dia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Manhal tentang pembelanjaan secara tunai,” dia berkata : “Aku dan rekan kongsiku telah membeli sesuatu dengan cara tunai dan kredit.” Kemudian kami didatangi oleh Abu Barra’ bin Azib, kami lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab: “Aku dan rekan kongsiku, Zaid bin Arqam telah mengadakan kerjasama usaha.” Kemudian kami bertannya kepada Rasulullah SAW tentang tindakan kami ini. Beliau menjawab:
“Barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silahkan kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) dengan cara hutang silahkan kalian bayar.”
Ini menunujukkan bahwa kaum muslimin telah melakukan syirkah dan Rasulullah SAW menyetujui syirkah tersebut. Imam Abu Daud meriwayatkan dari Abi Khurairoh bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT berfirman: “Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada syirkahnya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi).”
Syirkah tersebut boleh dilakukan antara sesama muslim atau sesama kafir dzimmi, termasuk antara orang Islam dengan orang kafir dzimi. Sehinga boleh saja, seorang muslim melakukan syirkah tersebut dengan orang Nashrani, Majusi dan kafir dzimi yang lain. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan:
“Rasulullah SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar padahal mereka orang-orang Yahudi dengan mendapat bagian dari hasil panen dan tanaman.’
“Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi, lalu beliau menggadaikan baju besi beliau kepada orang Yahudi tersebut.” (HR. Imam Bukhari dengan sanad dari Aisyah)
Imam Tirmidzi juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan:
“Rasulullah SAW telah wafat, sedangkan baju besi beliau tergadaikan dengan dua puluh sha’ makanan, yang beliau ambil untuk menghidupi keluarga beliau.”
Imam Tirmidzi pernah meriwayatkan hadist dengan sanad dari Aisyah:
“Bahwa Rasulullah SAW telah mengutus kepada seorang Yahudi untuk meminta dua baju (untuk diserahkan) kepada Maisarah.”
Dengan demikian hukum melakukan syirkah dengan orang Yahudi, Nashrani dan kafir dzimi yang lain adalah mubah. Sebab melakukan mu’amalah dengan mereka diperbolehkan. Hanya saja, orang kafir dzimi tersebut tidak boleh menjual khamer dan babi ketika mereka sedang melakukan syirkah dengan orang Islam. Sedangkan laba dari penjualan khamer dan babi yang mereka peroleh sebelum mereka mengadakan syirkah dengan orang Islam, itu boleh mereka pergunakan untuk mengadakan syirkah.
Adapun syirkah tersebut bisa berbentuk syirkah hak milik (syirkatul amlak) atau syirkah transaksi (syirkatul uqud). Syrikah hak milik (syirkatul amlak) adalah syirkah terhadap zat barang, seperti syirkah dalam suatu zat barang yang diwarisi oleh dua orang, atau yang menjadi pembelian mereka berdua, atau hibbah yang diberikan oleh seseorang untuk mereka berdua, maupun yang lainnya. Sedangkan syirkah transaksi (syirkatul uqud) Ialah bahwa dua orang atau lebih melakukan akad untuk bergabung dalam suatu kepentingan harta dan hasilnya berupa keuntungan. Rukunnya adalah adanya ijab dan qabul. Hukumnya menurut mazhab hanafi membolehkan semua jenis syirkah apabila syarat-syarat terpenuhi. Syirkah transaksi (syirkatul uqud) terdiri dari syirkah Inan, Abdan, Mudharabah, Wujuh dan Mufawadlah.

B. RUKUN DAN SYARAT SYIRKAH
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
•    Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
•    Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
•    Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
•    Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
•    Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).


C.    MACAM-MACAM SYIRKAH
a)    Syirkah ‘Inan.
‘Inan artinya sama dalam menyetorkan atau menawarkan modal. Syirkah ‘Inan merupakan suatu akad di mana dua orang atau lebih berkongsi dalam modal dan sama-sama memperdagangkannya dan bersekutu dalam keuntungan. Hukum jenis syirkah ini merupakan titik kesepakatan di kalangan para fukoha. Demikan juga syirkah ini merupakan bentuk syirkah yang paling banyak dipraktekkan kaum Muslimin di sepanjang sejarahnya. Hal ini disebabkan karena bentuk perkongsian ini lebih mudah dan praktis karena tidak mensyaratkan persamaan modal dan pekerjaan. Salah satu dari patner dapat memiliki modal yang lebih tinggi dari pada mitra yang lain. Begitu pula salah satu pihak dapat menjalankan perniagaan sementara yang lain tidak ikut serta. Pembagian keuntunganpun dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan mereka bahkan diperbolehkan salah seorang dari patner memiliki keuntungan lebih tinggi sekiranya ia memang lebih memiliki keahlian dan keuletan dari pada yang lain. Adapun kerugian harus dibagi menurut perbandingan saham yang dimiliki oleh masing-masing patner.
b)    Syirkah Mufawadhoh

Mufawadhoh artinya sama-sama. Syirkah ini dinamakan syirkah mufawadhoh karena modal yang disetor para patner dan usaha fisik yang dilakukan mereka sama atau proporsional. Jadi syirkah mufawadhoh merupakan suatu bentuk akad dari beberapa orang yang menyetorkan modal dan usaha fisik yang sama. Masing-masing patner saling menaggung satu dengan lainnya dalam hak dan kewajiban. Dalam syirkah ini tidak diperbolehkan satu patner memiliki modal dan keuntungan yang lebih tinggi dari para patner lainnya. Yang perlu diperhatian dalam syirkah ini adalah persamaan dalam segala hal di antara masing-masing patner.
c)    Syirkah Wujuh

Syirkah ini dibentuk tanpa modal dari para patner. Mereka hanya bermodalkan nama baik yang diraihnya karena kepribadiannya dan kejujurannya dalam berniaga. Syirkah ini terbentuk manakala ada dua orang atau lebih yang memiliki reputasi yang baik dalam bisnis memesan suatu barang untuk dibeli dengan kredit (tangguh) dan kemudian menjualnya dengan kontan. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini kemudian dibagi menurut persyaratan yang telah disepakati antara mereka.
d)    Syirkah Abdan (A’mal)

Syirkah ini dibentuk oleh beberapa orang dengan modal profesi dan keahlian masing-masing. Profesi dan keahlian ini bisa sama dan bisa juga berbeda. Misalnya satu pihak tukang cukur dan pihak lainnya tukang jahit. Mereka menyewa satu tempat untuk perniagaannya dan bila mendapatkan keuntungan dibagi menurut kesepakatan di antara mereka. Syirkah ini dinamakan juga dengan syirkah shona’i atau taqobul.
D.    PANDANGAN MAZHAB FIQIH TENTANG CARA MENGAKHIRI SYIRKAH
Mengakhiri Syirkah
a)     Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
b)    Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengolah harta.
c)     Salah satu pihak meninggal dunia.
d)    Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar