Rabu, 27 Juni 2012

WARIS

Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan.

Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan. Dengan adanya system pembagian harta warisan tersebut menunjukan bahwa islam adalah agama yang tertertib,teratur dan damai. Pihak-pihak yang berhak menerima warisan dan cara pembagiannya itulah yang perlu kita pelajari pada bab ini.
A. Pengertian Mawaris
Kata mawaris berasal dari kata waris ( bahasa arab ) yang berarti mempusakai harta orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta peninggalan orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan
orang yang telah meninggal. Ahli waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan ( lihat QS:Al - baqarah : 188 ). Karena sensitif atau rawannya masalah harta warisan itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang warisan dan perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.
Ahli waris laki-laki ada 15 orang, yaitu sebagai berikut:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah
3. Bapak
4. Kakak dari bapak dan terus keatas
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
10. Paman yang sekandung dengan bapak
11. Paman yang sebapak dengan bapak
12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak
13. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak
14. Suami
15. Laki-laki yang memerdekakan si pewaris
( Keterangan no.1 – 13 berdasarkan pertalian darah. Jika lima belas orang itu ada, maka yang dapat menerima hanya tiga, yaitu anak laki-laki, suami, dan bapak ).
Ahli waris perempuan ada 10, yaitu sebagai berikut:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek dari ibu
5. Nenek dari bapak
6. Saudara perempuan kandung
7. Saudara perempuan bapak
8. Saudara perempuan seibu
9. Istri
10. Wanita yang memerdekakan si pewaris
( Keterangan no.1 - 8 berdasarkan pertalian darah. Jika 10 orang itu ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya lima orang yaitu, Istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan, dan saudara perempuan kandung )
Jika 25 ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya lima orang yaitu, suami atau istri, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
B. Dalil Tentang Mawaris
1. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima warisan sebagaimana yang telah ditetapkan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
Artinya:”Bagi orang yang laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya.baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”( QS. An Nissa:7 )
Selanjutnya lihat pula Qs. An Nissa ayat 11, 12, dan 176.
2. Dari hadits Rasulullah saw, ada yang menerangkan bagian warisan untuk saudara perempuan yang lebih dua orang, bagian nenek dari bapak dan dari ibu serta bagian cucu perempuan dari anak laki - laki dan lain-lain.
Zaid bin sabit adalah sahabat Rasulullah saw.dari kalangan Anshar yang berasal dari suku khajraj. Ia lahir di madinah tahun 11 SH/611M. Ia masuk islam pada tahun pertama hijriyah dan menjadi sekretaris Rasulullah saw. Untuk menulis wahyu yang turun, menulis surat - surat untuk pembesar kaum yahudi serta menjadi penyusun mushaf di masa khalifah Abu Bakar As Siddiq. Ia dikenal sangat ahli dalam ilmu Al Qur’an, tafsir, hadits dan khususnya faraid sehingga dijuluki Ulama masyarakat. Pada masa khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, ia menjabat sebagai mufti ( ahli fatwa ) yang paling berpengaruh dalam bidang faraid, bahwa Rasulullah sendiri pernah bersabda, ”Yang paling ahli dalam ilmu faraid di antara kalian adaah Zaid bin Sabit.”( HR.Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal ). Zaid bin Sabit wafat di Madinah pada tahun 45H/665M.
Artinya:” Sesungguhnya hak wali adalah untuk orang yang memerdekakan.”( Muttafakun alaih )
Artinya:” Berikan warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan sisanya untuk orang laki-laki yang paling berhak.”( Muttafakun alaih )
Artinya:” Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada orang yang memiliki hak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.”( HR.Abu Daud )
C. Ketentuan Hukum Islam Tentang Mawaris
Berdasarkan ketentuan perolehan atau bagian dari harta warisan, ahli waris dapat dikatagorikan menjadi 2 golongan,yaitu sebagai berikut :
1. Zawil Furud
Zawil Furud adalah ahli waris yang perolehan harta warisannya sudah ditentukan oleh dalil Al Quran dan Hadits (lihat QS.An Nissa:11, 12, dan 176). Dari ayat Al Qur’an tersebut, dapat diuraikan orang yang mendapat seperdua, seperempat, dan seterusnya.
A. Ahli waris yang mendapa 1/2 , yaitu sebagai berikut:
1). Anak pempuan tunggal
2). Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
3). Saudara perempuan tunggal yang sekandung
4). Saudara perempuan tunggal yang sebapak apabila saudara perempuan yang sekandung tidak ada
5). Suami apabila istrinya tidak mempunyai anak, atau cucu (laki-laki ataupun perempuan) dari anak laki-laki
B. Ahli waris yang mendapat 1/4, yaitu sebagai berikut:
1). Suami apabila istrinya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
2). Istri ( seorang atau lebih ) apabila suaminya tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
C. Ahli waris yang mendapat 1/8, yaitu istri ( seorang atau lebih ) apabila suami mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
D. Ahli waris yang mendapat 2/3, yaitu sebagai berikut:
1. Dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak ada anak laki-laki ( menurut sebagian besar ulama )
2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki apabila anak perempuan tidak ada
( diqiyaskan kepada anak perempuan )
3. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung ( seibu sebapak )
4. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak
E. Ahli waris yang mendapat 1/3, yaitu sebagai berikut:
1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu, atau dia tidak saudara - saudara ( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang sebapak atau yang seibu
2. Dua orang atau lebih ( laki-laki atau perempuan ) yang seibu apabila tidak ada anak atau cucu atau anak
F. Ahli waris yang mendapat 1/6, yaitu sebagai berikut:
1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu mempunyai cucu ( dari anak laki-laki ) atau mempunyai saudara-saudara( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang sebapak atau seibu
2. Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( laki-laki atau perempu an ) dari anak laki-laki
3). Nenek ( ibu dari ibu atau ibu dari bapak ). Nenek mendapat 1/6 apabila ibu tidak ada. Jika nenek dari bapak atau ibu masih ada, maka keduanya mendapat bagian yang sama dari bagian yang 1/6 itu
4). Cucu perempuan ( seorang atau lebih ) dari laki-laki apabila orang yang meninggal mempunyai anak tunggal. Akan tetapi, apabila anak perempuan lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak mendapat apa-apa
5). Kakek apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( dari anak laki-laki ), sedangkan bapaknya tidak ada
6). Seorang saudara ( laki-laki atu perempuan ) yang seibu
7). Saudara perempuan yang sebapak ( seorang atau lebih ) apabila saudaranya yang meninggal itu mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Ketentuan pembagian seperti itu dimaksudkan untuk menggenapi jumlah bagian saudara kandung dan saudara sebapak menjadi 2/3 bagian. Apabila saudara kandungnya ada dua orang atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian
2. Asabah
Asabah adalah ahli waris yang bagian penerimanya tidak ditentukan, tetapi menerima dan menghabiskan sisanya. Apabila yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris yang mendapat bagian tertentu ( zawil furud ), maka harta peninggalan itu semuanya diserahkan kepada asabah. Akan tetapi apabila ada diantara ahli waris yang mendapat bagian tertentu, maka sisanya menjadi bagian asabah yang dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
A. Asabah binafsih
Asabah binafsih yaitu asabah yang berhak mendapat semua harta atau semua sisa, diatur menurut susunan sebagai berikut:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah asal saja pertaliannya masih terus laki – laki
3. Bapak
4. Kakek ( datuk ) dari pihak bapak dan terus keatas, asal saja pertaliannya belum putus dari pihak bapak
5. Saudara laki - laki sekandung
6. Saudara laki - laki sebapak
7. Anak saudara laki - laki kandung
8. Anak laki - laki kandung
9. Paman yang sekandung dengan bapak
10. Paman yang sebapak dengan bapak
11. Anak laki - laki paman yang sekandung dengan bapak
12. Anak laki - laki paman yang sebapak dengan bapak
Asabah - asabah tersebut dinamakan asabah binafsih, karena mereka langsung menjadi asabah tanpa disebabkan oleh orang lain. Apabila asabah tersebut diatas semuanya ada, maka tidak semua dari mereka mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang ( asabah ) yang lebih dekat dengan pertaliannya, dengan orang yang meninggal itu. Jadi, penentuannya diatur menurut nomor urut yang tersebut diatas.
Jika ahli waris yang ditinggalkan itu anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta atau semua sisa. Cara pembagiannya ialah untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan.
Artinya:”Allah telah menetapkan tentang pembagian harta warisan terhadap anak-anak. Untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan.” ( QS. An Nisa:11 )
B. Asabah Bilgair
Perempuan juga ada yang menjadi asabah dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah dengan ketentuan bahwa untuk laki-laki mendapat dua kali lipat perempuan
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki yang dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
3. Saudara laki-laki sekandung juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
4. Saudara laki-laki sebapak juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
Keempat macam asabah diatas dinamakan asabah bilgair ( asabah dengan sebab orang lain ). Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara pembagiannya adalah untuk saudara laki - laki dua kali lipat perempuan( QS.An Nisa:176 )
C. Asabah Ma’algair
Selain daripada yang telah disebutkan sebelumnya, ada dua lagi asabah yang dinamakan asabah ma’algair ( asabah bersama orang lain ). Asabah ini hanya dua macam, yaitu sebagai berikut:
1. Saudara perempuan sekandung apabila ahli warisnya saudara perempuan sekandung ( seorang atau lebih ) dan anak perempuan ( seorang atau lebih ) atau saudara perempuan sekandung dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Sesudah ahli waris yang lain mengambil bagian masing-masing, sisanya menjadi bagian saudara perempuan tersebut.
2. Saudara perempuan sebapak apabila ahli saudara perempuan sebapak ( seorang atau lebih ) dan anak perempuan ( seorang atau lebih ), atau saudara perempuan sebapak dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Jadi, saudara perempuan sekandung atau sebapak dapat menjadi asabah ma’algair apabila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki. Akan tetapi, apabila mereka mempunyai saudara laki - laki maka kedudukannya berubah menjadi asabah bilgair ( saudara perempuan menjadi asabah karena ada saudara laki - laki ).
3.Hijab dan Mahjub
Hijab ( penghalang ), yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh tidak dapat menerima, atau bisa menerima, tetapi bagiannya menjadi berkurang.
Hijab dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Hijab hirma,yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sama sekali tidak menerima bagian. Contohnya, kakek terhalang oleh bapak, dan cucu terhalang oleh anak
2. Hijab nuqsan ( mengurangi ), yaitu ahli waris lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh bagiannya berkurang Contoh, jika jenazah meninggalkan anaknya, suami mendapat 1/4, dan jika tidak meninggalkan anak mendapat 1/2
Mahjub ( terhalang ), ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris waris yang lebih dekat sehingga sama sekali tidak dapat menerima, atau menerima, tetapi bagiannya berkurang
4. Batalnya Hak Menerima Waris
Sekalipun berhak menerima waris yang seseorang meninggal dunia, tetapi hak itu dapat batal karena hal - hal berikut ini.
1. Tidak beragama islam. Hukum islam hanya untuk umat islam, maka seorang bapak yang tidak beragama islam tidak mewarisi harta anaknya yang beragama islam, demikian juga sebaliknya
2. Murtad dari agama islam. Sekalipun mulanya beragama islam, tetapi kemudian pindah agama lain, maka ia tidak berhak lagi mempusakai harta keluarganya yang beragama islam
3. Membunuh. Orang yang membunuh tidak berhak mendapat harta waris dari orang yang dibunuhnya sebagaimana sabda Rasulullah.,”Tidaklah si pembunuh mewarisi harta orang yang dibunuhnya,sedikitpun. “( HR.Ahli Hadits )
4. Menjadi hamba. Seseorang yang menjadi hamba orang lain tidak berhak menerima harta waris dari keluarganya karena harta harta tersebut akan jatuh pula ketangan orang yang menjadi majikannya ( lihat QS.An Nahl:75 )

SYIRKAH

A.    PENGERTIAN SYIRKAH
Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur/bercampur). Adapun menurut istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Terkadang syirkah ini terbentuk tanpa disengaja, misalnya berkaitan dengan harta warisan. demikian di nyatakan oleh Taqiyuddin. Maksud bercampur di sini ialah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk di bedakan.
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Pengertian secara fiqih
Adapun menurut makna syara’, syirkah adalah suatu akad/perjanjian antara dua pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan kerja sama dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Transaksi syirkah tersebut mengharuskan adanya ijab dan kabul sekaligus, sebagaimana layaknya transaksi yang lain. Bentuk ijabnya adalah : “Aku mengadakah syirkah dengan Anda dalam hal ini.” Kemudian yang lain menjawab : “Aku terima.” Akan tetapi, tidak harus selalu menggunakan ungkapan di atas, yang penting maknanya sama. Artinya, di dalam menyatakan ijab dan kabul tersebut harus ada makna yang menunjukkan bahwa salah satu di antara mereka mengajak kepada yang lain baik secara lisan maupun tulisan untuk mengadakan kerjasama (syirkah) dalam suatu hal. Kemudian yang lain menerima syirkah tersebut. Oleh karena itu, adanya kesepakatan untuk melakukan syirkah saja masih dinilai belum cukup. Termasuk kesepakatan memberikan modal untuk syirkah saja juga masih dinilai belum cukup. Tetapi harus mengandung makna berkerjasama (melakukan syirkah) dalam suatu hal.
Imam Bukhari meriwayatkan melalui Sulaeman bin Abi Muslim, dia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Manhal tentang pembelanjaan secara tunai,” dia berkata : “Aku dan rekan kongsiku telah membeli sesuatu dengan cara tunai dan kredit.” Kemudian kami didatangi oleh Abu Barra’ bin Azib, kami lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab: “Aku dan rekan kongsiku, Zaid bin Arqam telah mengadakan kerjasama usaha.” Kemudian kami bertannya kepada Rasulullah SAW tentang tindakan kami ini. Beliau menjawab:
“Barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silahkan kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) dengan cara hutang silahkan kalian bayar.”
Ini menunujukkan bahwa kaum muslimin telah melakukan syirkah dan Rasulullah SAW menyetujui syirkah tersebut. Imam Abu Daud meriwayatkan dari Abi Khurairoh bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT berfirman: “Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada syirkahnya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi).”
Syirkah tersebut boleh dilakukan antara sesama muslim atau sesama kafir dzimmi, termasuk antara orang Islam dengan orang kafir dzimi. Sehinga boleh saja, seorang muslim melakukan syirkah tersebut dengan orang Nashrani, Majusi dan kafir dzimi yang lain. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan:
“Rasulullah SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar padahal mereka orang-orang Yahudi dengan mendapat bagian dari hasil panen dan tanaman.’
“Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi, lalu beliau menggadaikan baju besi beliau kepada orang Yahudi tersebut.” (HR. Imam Bukhari dengan sanad dari Aisyah)
Imam Tirmidzi juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan:
“Rasulullah SAW telah wafat, sedangkan baju besi beliau tergadaikan dengan dua puluh sha’ makanan, yang beliau ambil untuk menghidupi keluarga beliau.”
Imam Tirmidzi pernah meriwayatkan hadist dengan sanad dari Aisyah:
“Bahwa Rasulullah SAW telah mengutus kepada seorang Yahudi untuk meminta dua baju (untuk diserahkan) kepada Maisarah.”
Dengan demikian hukum melakukan syirkah dengan orang Yahudi, Nashrani dan kafir dzimi yang lain adalah mubah. Sebab melakukan mu’amalah dengan mereka diperbolehkan. Hanya saja, orang kafir dzimi tersebut tidak boleh menjual khamer dan babi ketika mereka sedang melakukan syirkah dengan orang Islam. Sedangkan laba dari penjualan khamer dan babi yang mereka peroleh sebelum mereka mengadakan syirkah dengan orang Islam, itu boleh mereka pergunakan untuk mengadakan syirkah.
Adapun syirkah tersebut bisa berbentuk syirkah hak milik (syirkatul amlak) atau syirkah transaksi (syirkatul uqud). Syrikah hak milik (syirkatul amlak) adalah syirkah terhadap zat barang, seperti syirkah dalam suatu zat barang yang diwarisi oleh dua orang, atau yang menjadi pembelian mereka berdua, atau hibbah yang diberikan oleh seseorang untuk mereka berdua, maupun yang lainnya. Sedangkan syirkah transaksi (syirkatul uqud) Ialah bahwa dua orang atau lebih melakukan akad untuk bergabung dalam suatu kepentingan harta dan hasilnya berupa keuntungan. Rukunnya adalah adanya ijab dan qabul. Hukumnya menurut mazhab hanafi membolehkan semua jenis syirkah apabila syarat-syarat terpenuhi. Syirkah transaksi (syirkatul uqud) terdiri dari syirkah Inan, Abdan, Mudharabah, Wujuh dan Mufawadlah.

B. RUKUN DAN SYARAT SYIRKAH
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
•    Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
•    Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
•    Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
•    Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
•    Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).


C.    MACAM-MACAM SYIRKAH
a)    Syirkah ‘Inan.
‘Inan artinya sama dalam menyetorkan atau menawarkan modal. Syirkah ‘Inan merupakan suatu akad di mana dua orang atau lebih berkongsi dalam modal dan sama-sama memperdagangkannya dan bersekutu dalam keuntungan. Hukum jenis syirkah ini merupakan titik kesepakatan di kalangan para fukoha. Demikan juga syirkah ini merupakan bentuk syirkah yang paling banyak dipraktekkan kaum Muslimin di sepanjang sejarahnya. Hal ini disebabkan karena bentuk perkongsian ini lebih mudah dan praktis karena tidak mensyaratkan persamaan modal dan pekerjaan. Salah satu dari patner dapat memiliki modal yang lebih tinggi dari pada mitra yang lain. Begitu pula salah satu pihak dapat menjalankan perniagaan sementara yang lain tidak ikut serta. Pembagian keuntunganpun dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan mereka bahkan diperbolehkan salah seorang dari patner memiliki keuntungan lebih tinggi sekiranya ia memang lebih memiliki keahlian dan keuletan dari pada yang lain. Adapun kerugian harus dibagi menurut perbandingan saham yang dimiliki oleh masing-masing patner.
b)    Syirkah Mufawadhoh

Mufawadhoh artinya sama-sama. Syirkah ini dinamakan syirkah mufawadhoh karena modal yang disetor para patner dan usaha fisik yang dilakukan mereka sama atau proporsional. Jadi syirkah mufawadhoh merupakan suatu bentuk akad dari beberapa orang yang menyetorkan modal dan usaha fisik yang sama. Masing-masing patner saling menaggung satu dengan lainnya dalam hak dan kewajiban. Dalam syirkah ini tidak diperbolehkan satu patner memiliki modal dan keuntungan yang lebih tinggi dari para patner lainnya. Yang perlu diperhatian dalam syirkah ini adalah persamaan dalam segala hal di antara masing-masing patner.
c)    Syirkah Wujuh

Syirkah ini dibentuk tanpa modal dari para patner. Mereka hanya bermodalkan nama baik yang diraihnya karena kepribadiannya dan kejujurannya dalam berniaga. Syirkah ini terbentuk manakala ada dua orang atau lebih yang memiliki reputasi yang baik dalam bisnis memesan suatu barang untuk dibeli dengan kredit (tangguh) dan kemudian menjualnya dengan kontan. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini kemudian dibagi menurut persyaratan yang telah disepakati antara mereka.
d)    Syirkah Abdan (A’mal)

Syirkah ini dibentuk oleh beberapa orang dengan modal profesi dan keahlian masing-masing. Profesi dan keahlian ini bisa sama dan bisa juga berbeda. Misalnya satu pihak tukang cukur dan pihak lainnya tukang jahit. Mereka menyewa satu tempat untuk perniagaannya dan bila mendapatkan keuntungan dibagi menurut kesepakatan di antara mereka. Syirkah ini dinamakan juga dengan syirkah shona’i atau taqobul.
D.    PANDANGAN MAZHAB FIQIH TENTANG CARA MENGAKHIRI SYIRKAH
Mengakhiri Syirkah
a)     Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
b)    Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengolah harta.
c)     Salah satu pihak meninggal dunia.
d)    Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.

MUZARA'AH DAN MUKHABARAH ”

A.    PENGETIAN MUZARA'AH DAN MUKHABARAH
Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan yang kedua adalah makna yang haqiqi.
Muzara’ah dan Mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut di kemukakan oleh al-Rofi’i dan al-nawawi. Sedangkan menurut al-Qadhi Abu Thatib, muzara’ah dan mukhabarah merupakan satu pengertian.
Muzara'ah adalah proses pengelolaan pada sebidang tanah dengan sebagian apa-apa yang dikeluarkan darinya sedangkan benih dari orang yang bekerja.Mukhabarah adalah proses muamalah pada sebidang tanah yang dikeluarkan darinya dan benih dari pemilik tanah.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetentuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Mudarabah
Mudharabah adalah orang yang memiliki modal meminjamkan modalnya pada pihak lain untuk berdagang.
Kegiatan ini saya amati disekitar tempat tinggal saya, yang mana antara pihak pemilik modal dengan pihak yang meminjam modal masih memiliki hubungan kekerabatan. Pihak yang memiliki modal meminjamkan modalnya pada pihak lain yang bergerak dalam usaha jual beli beras.
Berdasarkan hasil pengamatan saya, antara pihak yang memiliki modal dengan pihak yang menjalankan modal sama – sama bertanggung jawab seandainya terjadi kerugian. Sedangkan keuntung dari usaha tersebut dibagi 3, dengan ketentuan sepertiga untuk yang memiliki modal dan dua pertiganya untuk yang menjalankan modal.
Sirqah
Sirqah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam usaha perdagangan, atau disebut juga dengan kongsi dagang.
Kegiatan ini dilakukan orang tua saya dengan para tetangga. Mereka secara bersama – sama membuka koperasi yang menjual barang – barang kebutuhan sehari – hari. Modal untuk membuka koperasi ini bersumber dari pinjaman kelurahan serta dana simpanan wajib dan simpanan sukarela anggota koperasi. Keuntungan dari koperasi konsumsi ini bagi berdasarkan besar kecilnya peranan anggota dalam pengelolaan koperasi dan pemanfaatan jasa koperasi bagi anggotanya. Jika dalam pelaksanaanya terjadi kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh semua anggota yang menjadi anggota koperasi.


B.    DASAR HUKUM MUZARA’AH DAN MUKHABARAH

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya : Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
عَنِ ابْنِ عُمَرَرَضِيَ الله ُعَنْهُمَاأَنَّ النَّبِيَّ ص م عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطٍ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ
ثَمَرٍأَوْزَرْعٍ    (متفق عليه)
Dari ibnu Umar ra. “bahwasanya Nabi SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan syarat akan diberi upah separuh dari hasil tanaman atau buah-buahan yang keluar dari lahan tersebut” (HR. Muttafaq Alaih).



C.    PANDANGAN ULAMA’ TERHADAP HUKUM MUZARA’AH DAN MUKHABARAH

Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alasan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW.
    Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak. D. Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah – olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.
 Syarat – Syarat Muzara’ah Menurut jumhur ulama’ adalah:
1.    harus baligh dan berakal
2.    Jelas dan menghasilkan
3.    menurut adat dan batas lahan itu jelas
4.    pembagian hasil harus jelas dan memang benar – benar milik bersama.

Musaaqah Merupakan transaksi antara pemilik kebun /tanaman dan pengolah/penggarap untuk memelihara dan merawat kebun pada masa tertentu sampai pada masa tertentu sampai tanaman itu berbuah.


Rukun dan syarat musaaqah
1.    ada dua orang yang beraqad
2.    ada lahan yang dijadikan objek
3.    bentuk/jenis usa yang dilakukan
4.    ada ketentuan bagian masing – masing
5.     ada perjanjian.
D. RUKUN DAN SYARAT MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
a)    Rukun Muzara’ah dan Mukhabarah
1). Pemilik dan penggarap sawah.
2). Sawah atau lading.
3). Jenis pekerjaan yang harus dilakukan.
4). Kesepakatan dalam pembagian hasil (upah).
5). Akad (sighat).
b)    Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
1)    Pada muzara’ah benih dari pemilik tanah, sedangkan pada mukhabarah benih dari penggarap.
2)    Waktu pelaksanaan muzara’ah dan mukhabarah jelas.
3)    Akad muzara’ah dan mukhabarah hendaknya dilakukan sebelum pelaksanaan pekerjaan.
4)    Pembagian hasil disebutkan secara jelas.
D.    Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau, sapi, kuda, dan lainya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak di antara manusia mempunyai sawah, tanah, lading, dan lainya, yang layak untuk di Tanami (bertani), tetapi ia tidak memilki binatang untuk mengolah sawah dan ladangnya, sehingga banyak tanah yang di biarkan dan tidak dapat menghasilkan suatu apapun.
Muzara’ah dan mukhaharah disyari’atkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bias dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga di biarkan tidak ada yang mengolahnya.
Muzara’ah dan mukhaharah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainya yang bersifat teknis di sesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalm upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bias saling menguntungkan.
a)    Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b)    Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c)    Tertanggulanginya kemiskinan.
d)    Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.

WADI'AH

A.    PENGERTIAN WADI’AH
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. (Ma Wudi’a ‘Inda Ghair Malikihi Layahfadzahu), berarti bahwa al-wadi’ah ialah memberikan. Makna yang kedua al-wadi’ah dari segi bahasa ialah menerima, seperti seseorang berkata, “awda’tuhu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (Qabiltu Minhu Dzalika Al-Mal Liyakuna Wadi’ah “Indi). Secara bahasa al-wadi’ah memiliki dua makna, yaitu memberikan harta untuk di jaganya dan pada penerimaanya (I’tha’u al-Mal Liyahfadzahu wa fi Qabulihi).
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh, yaitu :
1.    Ulama madzhab hanafi mendefinisikan :
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
2.    Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama ) mendefinisikan wadhi’ah sebagai berikut :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “

    Menurut HASBI-ASHIDIQIE al-wadi’ah ialah :
“akad yang inrinya minta pertolongan pada seseorang dalam memelihara harta penitip.”
    Menurut SYAIKH SYIHAB al-DIN al-QALYUBI wa SYAIKH Umairah al-wadi’ah ialah :
“benda yang diletakan pda orang lain untuk dipeliharanya
    Menurut IBRAHIM al-BAJURI berpendapat bahwa yang dimaksud al-wadi’ah ialah
“akad yang dilakukan untuk penjagaan”
    Menurut ADDRIS AHMAD bahwa titipan adalah barang yang diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
    Tokoh – tokoh ekonomi perbankan berpendapat bahwa wadhi’ah adalah akad penitipan barang atau uang kepada pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan keutuhan barang atau uang tersebut.
Dalam bidang ekonomi syariah, wadi’ah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank bertanggung jawab atas pengembalian titipan tersebut.
Wadiah sendiri dibagi menjadi 2 yaitu:
1.    Wadiah Yad Dhamanah
Wadi’ah ini adalah di mana si penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya.
2.    Wadiah Yad Amanah
Wadi’ah ini adalah di mana si penerima titipan tidak bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut.

B.    DASAR HUKUM
            Wadi`ah diterapkan mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu dalam :
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` : 58 :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,…..”
Kemudian dalam Suroh Al Baqarah : 283 :

 “…………. akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; …”.
Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu : Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalasnya khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.”(H.R.THABRANI)
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan.  Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”   
Dalam dasar hukum yang lain menerangkan yaitu IJMA` ialah para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus) terhadap legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini.
C.    SYARAT WADI”AH
Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak adanya bank kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita wadi`ahkan seperti :
1.    Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
2.    Uang, jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
3.    Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
4.    Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang) 


D.    RUKUN WADI`AH
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
1.    Barang/Uang yang di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
2.    Ada Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang menitipkannya/menyerahkan.
3.    Ada Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan pelayanan jasa custodian.
4.    Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka proses Wadi`ah itu tidak berjalan/terjadi/sah.





G. BATASAN-BATASAN DALAM MENJAGA WADI`AH (TITIPAN)
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri.  Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda benda titipan tidak rusak tanpa adanya unsure kesengajaan darinya, maka ucapanya harus di sertai dengan sumpah supaya perkataanya itu kuat kedudukanya menurut hokum, namun Ibnu al-Munzir berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah dapat di terima ucapanya secara hokum tanpa di butuhkan adanya sumpah.
Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi.  Adapun kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah  menjaga titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`.  Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harus bertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang titipan tadi.  Kesalahan yang lain membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian.  Apabila wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung jawab terhadap barang tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia pulang.
 Seterusnya kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima)  Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan)

Reksadana Syariah

REKSADANA SYARIAH; ALTERNATIF INVESTASI ISLAMI

Reksadana adalah suatu wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek. Dana yang terkumpul dari investor akan digunakan oleh manajer investasi untuk membeli surat-surat berharga yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan yang sudah dianggap sesuai dengan syariat.
 (Peneliti di The Indonesia Economic Intelligence) Produk-produk keuangan baru dikembangkan untuk menarik dana dari masyarakat. Salah satu produk yang tengah berkembang saat ini di Indonesia adalah reksadana. Reksadana adalah sebuah wadah dimana masyarakat dapat menginvestasikan dananya dan oleh pengelolanya (manajer investasi) dana itu diinvestasikan ke portfolio efek.
Reksadana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang ingin ikut serta dalam pasar modal. Pemodal akan mendapati ‘telor’ investasinya tersebar dalam beberapa ‘keranjang’ yang berbeda, sehingga resikonya tersebar. Reksadana diyakini memiliki andil yang amat besar dalam perekonomian nasional karena dapat memobilisasi dana. Disisi lain, reksadana memberikan keuntungan kepada masyarakat berupa keamanan dan keuntungan peningkatan kesejahteraan material. Namun bagi ummat Islam, produk-produk tersebut perlu dicermati, karena dikembangkan dari jasa keuangan konvensional yang menafikan ajaran agama, selain juga masih mengandung hal-hal yang tidak sejalan dengan ajaran Islam: misalnya invesati reksadana pada produk-produk yang diharamkan dalam Islam.

REKSADANA SYARI’AH (ISLAMIC INVESTMENT FUND)

Reksadana Syariah pada dasarnya adalah Islamisasi reksadana konvensional. Reksadana Syariah adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal sebagai pemilik dana (shabul mal) untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi sebagai wakil shahibul mal menurut ketentuan dan prinsip syariah Islam. Sebenarnya panduan bagi masyarkat muslim untuk berinvestasi pada produk ini sudah diberikan
melalui fatwa DSN-MUI No.20 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk ReksaDana Syariah. Sayangnya produk investasi syariah yang lebih menguntungkan dari produk
tabungan atau deposito perbankan syariah ini kurang tersosialisasi.
Pemilik dana (investor) yang menginginkan investasi halal akan mengamanahkan dananya dengan akad wakalah kepada Manajer Investasi. Reksadana Syariah akan bertindak dalam aqad mudharabah sebagai Mudharib yang mengelola dana milik bersama dari para investor. Sebagai bukti penyertaan investor akan mendapat Unit Penyertaan dari Reksadana Syariah. Dana kumpulan Reksadana Syariah akan ditempatkan kembali ke dalam kegiatan Emiten (perusahaan lain) melalui pembelian Efek Syariah. Dalam hal ini Reksadana Syariah berperan sebagai Mudharib dan Emiten berperan sebagai Mudharib. Oleh karena itu hubungan seperti ini bias disebut sebagai ikatan Mudharabah Bertingkat. Pembeda reksadana syariah dan reksadana konvensional adalah reksadana syariah memiliki kebijaksanaan investasi yang berbasis instrumen investasi pada portfolio yang dikategorikan halal. Dikatakan halal, jika perusahaan yang menerbitkan instrumen investasi tersebut tidak melakukan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Tidak melakukan riba atau membungakan uang. Saham, obligasi dan sekuritas lainnya yang dikeluarkan bukan perusahaan yang usahanya berhubungan dengan produksi atau penjualan minuman keras, produk mengandung babi, bisnis hiburan berbau maksiat, perjudian, pornografi, dan sebagainya.
Disamping itu, dalam pengelolaan dana reksadana ini tidak mengizinkan penggunaan strategi investasi yang menjurus ke arah spekulasi. Selanjutnya, hasil keuntungan investasi tersebut dibagihasilkan diantara para investor dan manajer investasi sesuai dengan proporsi modal yang dimiliki. Produk investasi ini bisa menjadi alternatif yang baik untuk menggantikan produk perbankan yang pada saat ini dirasakan memberikan hasil yang relatif kecil. Reksadana syariah memang sangat sesuai untuk investasi jangka panjang seperti persiapan menunaikan ibadah haji atau biaya sekolah anak di masa depan. Saat ini pilihannya pun semakin banyak. Saat ini secara kumulatif terdapat 11 reksadana syariah telah ditawarkan kepada masyarakat. Jumlah itu meningkat sebesar 233,33 persen jika dibandingkan dengan tahun 2003 yang hanya terdapat tiga reksadana syariah.

PILIHAN REKSADANA SYARI’AH DI INDONESIA

Sebelas reksadana syariah telah ditawarkan kepada masyarakat terkategori pada reksadanapendapatan tetap dan reksadana campuran. Reksadana pendapatan tetap adalah reksadana yang sebagian besar komposisi portofolio-nya di efek berpendapatan relatif tetap seperti; Obligasi Syariah, SWBI, CD Mudharabah, Sertifikat Investasi Mudharabah antar bank serta efek-efek sejenis. Yang termasuk reksadana syariah jenis ini antara lain; BNI Dana Syariah (sejak tahun 2004), Dompet Dhuafa-BTS Syariah (2004), PNM Amanah Syariah (2004), Big Dana Syariah (2004) dan I-Hajj Syariah Fund (2005). Tahun lalu reksadana pendapatan tetap bisa memberikan keuntungan sekitar 13-14 persen. Sedangakan reksadana campuran merupakan reksadana yang sebagian besar komposisi portofolio ditempatkan di efek yang bersifat ekuitas seperti saham syariah (JII) yang memberikan keuntungan relatif lebih tinggi.
 Termasuk dalam reksadana ini adalah: Reksadana PNM Syariah (sejak tahun 2000), Danareksa Syariah Berimbang (2000), Batasa Syariah (2003), BNI Dana Plus Syariah (2004), AAA Syariah Fund (2004) dan BSM Investa Berimbang (2004). Rata-rata keuntungan yang bisa dibukakan investor pada reksadana ini tahun lalu sekitar 23 persen. Dari pengamatan rutin yang dilakukan terlihat Nilai Aktiva Bersih (NAB) per unit-nya seluruh reksadana syariah terus merangkak naik, pertanda kinerjanya baik. Setidaknya ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan dengan berinvestasi pada reksadana syariah, antara lain; investasi sesuai kesanggupan (terjangkau), bukan objek pajak (bebas pajak), perkembangan dapat dipantau secara harian melalui media (termasuk beberapa koran), hasil relatif lebih tinggi (dibanding deposito), mudah dijangkau (ada yang bisa dengan ATM dan Phoneplus), yang terpenting juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan akan diaudit secara rutin. Modal untuk memulai investasi pada produk ini bisa bervariasi ada yang minimal Rp 5 juta seperti BSM Investa Berimbang, atau Rp 1 juta untuk BNI Dana Syariah, bahkan ada yang hanya Rp 250 ribu. Untuk pemesanannya pun relatif mudah tinggal mendatangi kantornya masingmasing. Untuk BNI Dana Syariah dan BSM Investa Berimbang tinggal mendatangi Kantor Cabang BNI Syariah dan BSM yang sudah relatif tersebar. Untuk menjatuhkan pilihan pemodal perlu berhati-hati. Meneliti produk sebelum membeli. Jangan sampai membeli produk tanpa terlebih dahulu membaca prospektus. Atau lebih parah lagi, membeli reksadana yang sama sekali tidak memiliki prospektus.
Sebagai produk investasi reksadana syariah bukanlah sesuatu yang imun dan kebal dari kerugian. Investasi syariah tetap
saja mengandung resiko kerugian ketika dikelola sang manajer investasi. Hal ini bisa kita buktikan dengan pembubaran reksadana Rifan Syariah oleh Bapepam akhir tahun 2004 karena
NAB-nya telah menjadi Rp 0,- akibat ketidakberhasilan mengelola dana investasi. Beberapa yang penting untuk dipertimbangkan lagi adalah kapasitas dan kemampuan Manajer Investasi untuk mengelola dana, hal ini bisa dilihat dari kinerja yang berjalan selama ini. Perlu pula dipertimbangkan biaya-biaya yang dibebankan seperti; biaya pembelian dan biaya penjualan
kembali, imbalan jasa Manajer Investasi dan imbalan jasa Kustodian. Selamat berinvestasi.
Wallahu‘alam bi-shawab. (Artikel ini pernah di publikasi di Kolom Majalah Hidayatullah, 2005.

PENGHITUNGAN REKSADANA SYARI’AH
    Sebelum saya menjawab lebih lanjut, tentang metode menghitung zakat dana yang saudara investasikan pada reksadana syariah. Alangkah baiknya bila sebelumnya saya sedikit menyinggung tentang hukum investasi pada reksadana saham syari'at.
Sebatas pengetahuan saya yang dangkal, sistem yang diterapkan oleh para Manajer Investasi Reksadana Syari'at tidak selaras dengan syari'at Islam. Yang terjadi hanyalah praktek manipulasi syari'at Allah belaka. Mempermainkan istilah-istilah yang dikenal dalam syari'at, akan tetapi konsekuensi dari masing-masing istilah tersebut tidak diindahkan.
Untuk lebih jelasnya, berikut saya nukilkan mekanisme kerja reksadana syari'at sebagaimana yang dijelaskan oleh DEWAN SYARI'AH NASIONAL pada fatwanya No: 20/DSN-MUI/IV/2001.
***
1.    Mekanisme operasional dalam Reksadana Syari'ah terdiri atas:
a)    antara pemodal dengan Manajer Investasi dilakukan dengan sistem wakalah, dan
b)    antara Manajer Investasi dan pengguna investasi dilakukan dengan sistem mudharabah.
2. Karakteristik sistem mudarabah adalah:
a)    Pembagian keuntungan antara pemodal (sahib al-mal) yang diwakili oleh Manajer Investasi dan pengguna investasi berdasarkan pada proporsi yang telah disepakati kedua belah pihak melalui Manajer Investasi sebagai wakil dan tidak ada jaminan atas hasil investasi tertentu kepada pemodal.
b)    Pemodal hanya menanggung resiko sebesar dana yang telah diberikan.
c)    Manajer Investasi sebagai wakil tidak menanggung resiko kerugian atas investasi yang dilakukannya sepanjang bukan karena kelalaiannya (gross negligence/tafrith).
Demikianlah mekanisme pengelolaan dana yang dilakukan oleh Manajer Investasi Reksadana Syari'ah. Pada penjelasan ini terdapat keganjilan yang tidak dapat dibenarkan dalam syari'at. Untuk dapat mengetahui keganjilan tersebut, saya mengajak saudara untuk mencermati hak dan kewajiban masing-masing pihak terkait. Berikut saya nukilkan penjelasan dari MUI pada fatwa tersebut di atas:
Pasal3
Hubungan dan Hak Pemodal
a)    Akad antara Pemodal dengan Manajer Investasi dilakukan secara wakalah.
b)    Dengan akad wakalah sebagaimana dimaksud ayat 1, pemodal memberikan mandat kepada Manajer Investasi untuk melaksanakan investasi bagi kepentingan Pemodal, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Prospektus.
c)    Para pemodal secara kolektif mempunyai hak atas hasil investasi dalam Reksadana Syari'ah.
d)    Pemodal menanggung risiko yang berkaitan dalam Reksadana Syari'ah.
e)     Pemodal berhak untuk sewaktu-waktu menambah atau menarik kembali penyertaannya dalam Reksadana Syari'ah melalui Manajer Investasi.
f)    Pemodal berhak atas bagi hasil investasi sampai saat ditariknya kembali penyertaan tersebut.
g)    Pemodal yang telah memberikan dananya akan mendapatkan jaminan bahwa seluruh dananya akan disimpan, dijaga, dan diawasi oleh Bank Kustodian.
h)    Pemodal akan mendapatkan bukti kepemilikan yang berupa Unit Penyertaan Reksadana Syariah.
Pasal 4

Hak dan Kewajiban Manajer Investasi dan Bank Kustodian
a)    Manajer Investasi berkewajiban untuk melaksanakan investasi bagi kepentingan Pemodal, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Prospektus.
b)    Bank Kustodian berkewajiban menyimpan, menjaga, dan mengawasi dana Pemodal dan menghitung Nilai Aktiva Bersih per-Unit Penyertaan dalam Reksadana Syari’ah untuk setiap hari bursa.
c)    Atas pemberian jasa dalam pengelolaan investasi dan penyimpanan dana kolektif tersebut, Manajer Investasi dan Bank Kustodian berhak memperoleh imbal jasa yang dihitung atas persentase tertentu dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syari'ah.
d)    Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak melaksanakan amanat dari Pemodal sesuai dengan mandat yang diberikan atau Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian dianggap lalai (gross negligence/tafrith), maka Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian bertanggung jawab atas risiko yang ditimbulkannya.
***
Dengan jelas MUI menyatakan bahwa hubungan antara pemodal dengan manejer investasi adalah hubungan wakalah. Akan tetapi ketika tiba di hak, MUI menyatakan bahwa hak Manejer Investasi adalah imbalan jasa yang dihitung atas persentase tertentu dari nilai aktiva bersih Reksadana. Dengan penjelasan ini nampak dengan jelas bahwa pada mekanisme kerja Reksadana terdapat gharar atau ketidak jelasan.
Ketidak jelasan yang saya maksud berkaitan dengan nominal upah yang menjadi hak manejer investasi. Yang demikian itu karena hak Manajer Investasi adalah persentasi dari Nilai Aktiva Bersih, padahal Nilai Aktiva Bersih pada saat penjualan tidak diketahui. Dengan demikian hak Manejer Investasipun secara otomatis tidak dapat diketahui pula. Dinyatakan dalam kaedah:


إَذَا دَخَلَ المَجْهُولُ عَلَى المَعْلُومِ يَصِيْرُ المَعْلُومُ مَجْهُولاً

"Bila ada sesuatu yang tidak jelas mencampuri sesuatu yang jelas, maka yang jelas menjadi tidak jelas."
Sebagai misal: Tatkala terjadi kesepakatan antara pemodal dengan Manajer Investasi dalam pembagian hak, bahwa hak mereka dari keuntungan investasi adalah 50 % : 50 %, sedangkan nominal keuntungan belum diketahui maka itu artinya hak manejemen investasipun tidak dapat diketahui. Padahal akad yang terjalin antaranya dengan pemodal adalah akad wakalah dan bukan akad bagi hasil atau mudharabah. Dengan demikian hak yang ia miliki adalah upah dan bukan bagi hasil. Karena wakalah dengan upah adalah salah satu bentuk dari akad ijarah, bila demikian adanya maka nominal upah haruslah telah diketahui pada awal akad, dan bukan dengan persentase dari suatu nilai yang belum jelas. (Bada'ius Shanaa'i oleh Al kasaani 6/81, Al Furu' oleh Ibnu Muflih 4/284, Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/104 & Nihayatul Muhtaaj 5/266, I'anatut Thalibin 3/109.)
Saya yakin anda semua telah mengetahui perbedaan antara akad wakalah dengan akad mudharabah. Untuk sedikit mengingatkan saja, tidak ada salahnya bila pada kesempatan ini saya menyebutkan salah satu perbedaan antara keduanya yang paling menonjol:
Pada akad wakalah, seorang wakil hanya berhak menerima upah alias ujrah yang telah disepakati, tanpa memperdulikan apakah perniagaan yang dijalankan mendatangkan keuntungan atau tidak sebgaiamana yang dialami oleh para pekerja perusahaan atau toko. Sedangkan pada akad mudharabah, seorang palaksana usaha ('amil) berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, sehingga ia hanya akan mendapat bagian bila usaha yang dijalankan mendatangkan keuntungan. Adapun bila usaha yang dijalankan merugi maka seorang 'amil tidak mendapatkan apa-apa.
Dengan demikian, mekanisme kerja Reksadana yang ada di masyarakat belum bisa dibenarkan dan belum selaras dengan syari'at Islam.
Catatan serupa juga ditujukan pada hak Bank Kustodian, dimana ia mendapatkan hak berupa persentasi dari Nilai Aktiva bersih, padahal ia bukan pelaksana usaha atau pemodal, akan tetapi ia adalah penyedia jasa penyimpanan, penjagaan dan penghitungan. Dengan demikian, hak yang semestinya ia terima adalah upah dan bukan bagi hasil atau persentasi dari nilai aktiva bersih.
Adapun penghitungan zakat, maka berdasarkan penjelasan di atas, saudara dapat langsung menjumlahkan modal saudara yang telah anda sertakan dalam reksadana ditambah dengan tabungan dan simpanan emas yang saudara miliki, kemudian dikalikan dengan 2,5 %. Dan hasil pengalian itulah total zakat yang harus saudara bayarkan.
Adapun hasil atau keuntungan yang saudara peroleh dari Reksadana, maka saya tidak menganjurkan untuk anda gunakan. Dan sebaliknya saya menganjurkan saudara untuk berhenti dari investasi di reksadana, dan berpindah pada investasi lain yang lebih jelas mekanisme dan pengelolaannya. Wallahu a'alam bisshowab.

Manfaat Tanah Wakaf Untuk Kepentingan sosial

1.    Pengertian
Kata “Wakaf” atau “Wacf”’ berasal dari bahasa arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”. Kata al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian:
الوقف بمعنى التحبيس والتسبيل
Artinya :
“Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan.
Sedangkan menurut terminologi syara’, wakaf berarti “menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga zatnya, memutus pemanfaatan terhadap zat deengan bentuk pemanfaatan lain yang mubah yang ada.”
Dari definisi ini terlihat bahwa harta yang boleh diwakafkan harus berupa benda tertentu yang dimiliki dan bukan yang dimaksudkan harta adalah uang dirham dan dinar sebab keduanya akan hilang jika sudah ditukarkan tidak ada zatnya lagi dan syarat harta wakaf harus tetap terjaga zatnya walaupun dimanfaatkan, jika pemanfaatan mengakibatkan hilangnya zat seperti makanan, maka akad wakaf tidak sah sebab akad wakaf untuk terus menerus dan selama-lamanya, dan benda yang diwakafkan ini jika diwakafkannya, maka tidak ada pemanfaatan pada zatnya tidak boleh dijual dan digadaikan.





2.    Pembahasan
Pertanian merupakan salah satu sektor penopang kehidupan yang strategis. Sayangnya bidang ini belakangan tampaknya sepi peminat. Apalagi, kini harga gabah cenderung tak bersahabat dengan petani. Selain itu, profesi ini juga dianggap ketinggalan zaman dan tak menjanjikan. Hal ini berdampak pada banyaknya lahan pertanian di desa-desa yang kian tak terurus, bahkan dikonversi menjadi lahan nonpertanian.
Kondisi ini tentu saja tak boleh dibiarkan mengingat peran pertanian yang begitu sentral dalam pengembangan ekonomi bangsa. Di antaranya mencakup aspek produksi atau ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani atau pengentasan kemiskinan. Yang tak kalah pentingnya adalah peran pertanian dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Itulah yang sering kali disebut sebagai multifungsi pertanian.
Untuk melestarikan multifungsi tersebut, salah satu strateginya adalah membuka lahan pertanian abadi yang berasal dari tanah wakaf. Langkah ini merupakan jalan keluar yang sinergi dengan masalah di lapangan. Pembukaan lahan baru adalah solusi sempitnya lahan pertanian. Lahan pertanian abadi dimaksudkan mencegah konversi lahan untuk kepentingan nonpertanian. Mengapa tanah wakaf dijadikan sebagai salah satu jalan alternatif? Pertama, karena sifatnya yang abadi berguna untuk menghindari konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian. Kedua, potensi tanah wakaf yang besar akan sangat bermanfaat jika diproduktifkan menjadi lahan pertanian.
Adapun berbagai model pengelolaan tanah wakaf secara produktif ini masih belum banyak dikenal oleh khalayak. Salah satunya dengan mengelola tanah wakaf menjadi lahan pertanian.Saat ini pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan pertanian bisa dibilang jarang. Padahal, kalau menilik sejarah, Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan tentang pentingnya wakaf dalah untuk tujuan produktif. Salah satunya berupa lahan pertanian.


•    Faktor Penghambat Pemberdayaan Wakaf di Indonesia
Menurut Uswatun,[27] terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam memberdayakan ekonomi umat:
1.   Masalah Pemahaman Masyarakat tentang Hukum Wakaf.

Selama ini, umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah.
2. Pengelolaan dan Manajemen Wakaf.
Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih  memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya adalah umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah, dalam hal ini wakif kurang memikirkan biaya operasional sekolah, dan nazhirnya kurang profesional. Oleh karena itu, kajian mengenai manajemen pengelolaan wakaf sangat penting. Kurang berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat di Indonesia karena wakaf tidak dikelola secara produktif. Untuk mengatasi masalah ini, wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelumnya. Selain memahami konsepsi fikih wakaf dan peraturan perundang-undangan, nazhir harus profesional dalam mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi jika harta wakaf tersebut berupa uang. Di samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus yang menkoordinasi dan  melakukan pembinaan nazhir. Pada saat di Indonesia sudah dibentuk Badan Wakaf Indonesia.

3. Benda yang Diwakafkan dan Nazhir (pengelola wakaf).
Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup untuk membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Memang ada beberapa tanah wakaf yang cukup luas, tetapi nazhir tidak profesional. Di Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak bergerak), padahal dalam fikih, harta yang boleh diwakafkan sangat beragam termasuk surat berharga dan  uang. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang amat penting adalah nazhir. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nazhir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nazhir yang profesional. Di Indonesia masih sedikit nazhir yang profesional, bahkan ada beberapa nazhir yang kurang memahami hukum wakaf, termasuk kurang memahami hak dan kewajibannya. Dengan demikian, wakaf yang diharapkan dapat memberi kesejahteraan pada umat, tetapi sebaliknya justru biaya pengelolaannya terus-menerus tergantung pada zakat, infaq dan shadaqah dari masyarakat. Di samping itu, dalam berbagai kasus ada sebagian nazhir yang kurang memegang amanah, seperti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf, dan kecurangan-kecurangan lain, sehingga memungkinkan  wakaf  tersebut  berpindah tangan. Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya calon wakif sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu apa yang diperlukan masyarakat, dan dalam memilih nazhir sebaiknya mempertimbangkan kompetensinya.[29]



•    Memproduktifkan Untuk Kesejahteraan
Kesejahteraan sosial yang menjadi pesan perenial ajaran wakaf sesungguhnya berjalan linear dengan multifungsi pertanian seperti dituturkan di atas. Karena itu, tak hanya memperluas lahan pertanian dan mencegah konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, tanah pertanian abadi yang berasal dari tanah wakaf juga mampu menjebol gap untuk menyinergikan produktivitas pertanaman dengan potensinya, serta memperkuat kelembagaan pertanian. Bagaimana bisa?
Tentu saja bisa. Optimisme ini setidaknya didukung oleh dua pilar. Pertama, dukungan pemerintah dalam pengelolaan tanah wakaf ke arah produktif. Salah satunya adalah sektor pertanian.Dukungan ini diwujudkan dengan lahirnya UU No 41 tentang Wakaf dan PP No 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya. Dalam hal ini, pemerintah yang berwenang adalah Departemen Agama RI dan Badan Wakaf Indonesia (lembaga independen yang bertugas untuk memajukan perwakafan di Indonesia, yang berdiri berdasarkan amanat UU No 41/2004).
Kedua, adanya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang siap membantu dan bekerja sama dalam mengelola tanah wakaf ke arah produktif, salah satunya adalah sektor pertanian. Peran LKS ini sudah paten sebab sudah diamanahkan dalam UU No 21/2004, bahwa Menteri Agama berdasarkan saran dan pertimbangan BWI menunjuk nama-nama LKS untuk bekerja sama dalam mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesi
 Kini ada lima LKS yang sudah ditunjuk Menag dan siap bekerja sama, yaitu Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah. (Keputusan Menteri Agama RI, No. 92-26 Tahun 2008). Dengan adanya dua pilar penopang ini, jurang pemisah antara sinergi produktivitas dan potensi serta lemahnya kelembagaan pertanian di pedesaan, tak lagi jadi masalah. Ini karena Depag RI dan BWI punya kewajiban mendampingi pengelola lahan pertanian abadi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya pengelola dengan berbagai macam pelatihan dan keahlian untuk menunjang profesionalitas kerja. Juga menyediakan bantuan berbagai fasilitas untuk peningkatan produktivitas pertanian.
Jika pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan pertanian abadi tersebut telah dikelola secara produktif, maka hasilnya harus dibagi, 10 persen untuk pengelola, sedangkan sisanya 90 persen digunakan untuk kesejahteraan masyarakat luas. Ketentuan ini sudah baku seperti tecermin dalam Pasal 12, UU No 21 tahun 2004.
Bentuk kesejahteraan masyarakat yang dananya dialokasikan dari hasil pengelolaan aset wakaf ini meliputi tiga ruang lingkup: sarana dan prasarana ibadah, bantuan kegiatan sosial-kemasyarakatan dan pendidikan, serta peningkatan peradaban bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah nilai plus dari pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan pertanian abadi. Selain melestarikan multifungsi pertanian, hasil pengelolaannya pun tidak mutlak milik pengelola, tapi ada porsi besar untuk kesejahteraan masyarakat.

Wanita Karir Dan Kewajiban Sebagai Ibu Rumah Tangga

Wanita Karir dan Kewajibanya Sebagai Ibu Rumah Tangga



A.PENGERTIAN
      Karir memilikiduapebgertian; pertama;karir berarti pengembangan dan kemajuan dalm kehidupan ,pekerjaan dan sebagainya,kedua; karir berati pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju.Ketika “wanita” dan “karir” disatukan maka kata itu berarti wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi dengan keahlian tertentu.
Dari pengertian diatas dapat diketahui cirri –ciri wanita karir;
1.     Wanita yang aktif melakukan krgiatan untuk mencapai kemajuan.
2.      Kegiatan-kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan professional sesuai dengan bidang yang ditekuninya.
3.      Bidang pekerjaan yang dilakukan oleh wanita karir adalah;yang sesuaidengan keahlian dan dapat mendatangkan kemajuan dalam kehidupan,pekerjaan,jabatan dan lain – lain.

     Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa wanita karir adalah wanita  yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan dengan dilandasi keahlian tertentu berbeda halnya dengan “wanita pekerja atau”tenaga kerja wanita” ialah mereka yang hasil karyanya akan dapat menghasilkan imbalan keuangan.Namun hal ini berbeda dengan wanita yang berjam –jam mengurusi rumah tangga,terkadang hampir  tak ada waktu untuk beristirahat karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan  namun pekerjaan ini tidak menghasilkan uang,dan wanita semacam ini tidak termasuk wanita bekerja.Sedangkan istilah TKW adalah wanita yang mampu melakukan pekerjaan di dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan jasa dan uang.
Dapat disimpulkan bahwa wanita yang bekerja lebih ditekankan kepada aspek imbalan yang diperolehnya dari hasil karya yang dihasilkannya.Namun dalam kenyataanya istilah TKW lebih berkonotasi pekerjaan membantu rumah tannga atau babu,tidak berpendidikan ,kerja diluar negeri dll.
       Adapun penyebab-penyebab yang mendorong wanita berkarir di katakana oleh lewis dalam bukunya”Developing Woman’s Potential” srbagai berikut;
1.    Perkembangan disektor industri,karena dalam hal ini mengakibatkan terjadinya kenaikan penyerapan pada tenag kerja.Sehingga banyak pekerja yang dibutuhkan terutama pekerjaan yang tidak membutuhkan tenaga dan pikiran.
2.      Kemajuan wanita dalam sektor pendidikan, maka banyak wanita yang berpendidikan tinggi dan tidak puas jika hanya menjadi ibu rumah tangga saja.
3.      Perubahan yang terjadi pada masyarakat tani di pedesaan berubah menjadi masyarakat modern,dan keadaan ekonomi yang kurang baik mendorong mereka untuk mengadu nasibdi kota.
Maria Ulfa Subadio melihat ada beberapa golongan wanita di masyarakat;
1.      Ada wanita yang mempunyai bekal dan cita-cita tinggi, sehingga lebih memilih tidak berumah tangga
2.      Wanita yang seratus persen menjadi ibu rumah tangga,dan sudah merasa puas akan hal itu
3.      Ada wanita yang memilih jalan tengah artinya wanita seperti ini mempunyai kesadaran dan  harus bisa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarganya                                                   
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan klasifikasi yang di kemukakan oleh Marwah Daud Ibrahim.Menurutnya ada tiga klasifikasi wanita;
1.      Wanita yang merasa dirinya sebagai pelengkap dan hanya menganggap dirinya sebagai objek penderitaan kaum pria
2.      Wanita yang mengutuk golongan partama diatas ,mereka menginginkan kebebasan dari ketergantungan terhadap kaum pria
3.     Mereka yang melihat dirinya dengan sosok yang utuh,menghormati kodrat kelahirannya sebagai wanita ,dan melaksanakan fungsi kewanitaannya tatapi juga tidak lalai dalam meniti karirnya.
Ada beberapa macam wanita karir;
1.    Wanita yang perlu berpenampilan menarik dan tidak ,karena tuntutan dari profesi yang ditekuninya.
2.    Wanita karir yang langsung berhubungan dengan orang lain dan yang tidak.
3.    Wanita karir yang bisa membina karirnya di dalam rumah dan tidak.

B. WANITA KARIR DALAM  PANDANGAN  ISLAM
     Sebelun sampai kepembahasan wanita karir ,kita lihat dulu pandanga Al-Quran dan Hadist memandang kaumwanita
1.Al-Quran surat al-Taubah 71;

“Orang –orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebagai mereka (adalah)menjadi penolong bagi sebagian yang lain mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,mencegah dari yang mungkar,mendirikan shalat,menunaikan zakat,dan mereka ta’at kepada Allah dan Rosulnya”
Dariayat diatas dapat dipahami bahwa pria dan wanita saling tolong menolong terutama dalam rumah tangga yang mempunyai tugas dan kewajiban yang sama untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar
2.Al-Quran surat al-Nisa’ ayat 124;
“Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh ,baik laki- laki maupun perempuan sedang  ia orang beriman ,maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiyaya walau sedikit pun”
Ayat diatas memberi petunjuk bahwa karya wanita dalam bentuk apapun dilakukanya adalah miliknya dan bertanggung jawab pula atas kerjanya itu ,termasuk masalah ibadah tidak bergantung kepada pihak pria tetapi bergantung pada amalnya.
3.Al-Quran surat al-Nisa’ ayat 32;
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain (karena bagi oranglaki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan,dan bagi para wanita pun ada bagian dan yang mereka usahakan “
Ayay ini memberikan gambaran bahwa tidak ada diskriminasi bagi wanita,tidak ada alasan untuk merendahkan derajat kaum wanita .Semuanya bergantung pada amal masing-masing
4.Al-Quran surat al-Nisa ayat 7;
“Bagi laki- laki ada hakbagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,dan bagi  wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya ,baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”
Ayat ini menjelaskan kedudukan wanita setelah dan sebelum islam,dulu wanita tidak mendapatkan harta warisamn namun malah dijadikan harta benda tetapi setelah islam datang wanita mendapat bagian hak warisan dan diperlakukan sebagai manusia biasa .Laki laki sama denganwanita akan tetapi dalam hal hal tertentu antara pria dan wanita itu tidak harus sama benar dengan kaum pria

C. WANITA SEBAGAI IBU RUMAH TANGGA
     Salah satu fungsi wanita yang terpenting adalah sebagai ibu ,penekananya sebagai ibu rumah tangga  lebih di titik beratkan kepada usaha membina dan menciptakan keluarga bahagia .Yang paling penting adalah merawat dan mendidik anaknya dimulai sejak dalam kandungan sampai anak itu dewasa .Maka tidaklah berlebihan jika islam memberikan penghargaan yang tinggi bagi seorang wanita yang berfungsi sebagai ibu sampai Nabi bersabda;
Jadi peranan yang sangat penting bagi wanita sebagai ibu rumah tangga adalah terletak dalam pendidikan dan pembinaan anak,sehingga anaknya menjadi kader-kader unggulan dimasa depan dan pendidikan tersebut tidak bisa dilimpahkan atau diwakilkan kepada siapapun.

D. KESIMPULAN
Dari berbagai ulasan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
1.    Antara laki- laki dan perempuan hakekatnya sama dalam islam dan memiliki paran yang sama namun jobnya yang berbeda -beda ,perbedaan ini sebagai sesuatu yang alami dimana mereka akan menikmati jobnya masing nasing
2.    Kaum wanita yang berpendidikan dan memiliki profesi serta keterampilan yang tinggi berhak untuk berkarir di bidangnya bahkan dalam hal hal tertentu ia wajib berkarir kalau dipahamimya sebagai mengamalkan ilmu dan mengembangkan potensi yang di perlukan oleh masyarakat luas .Meniti karir tersebut harus dilandasi dengan niat yang suci tanpa melupakan keluarga dan setatusnya sebagai ibu rumah tangga.
3.    Seseorang wanita karir yang  memasuki bahtera rumah tangga maka apapun aktifitasnya harus di musyawarahkan dan diketahui suaminya,karena jika ia berumah tangga ,berarti ia telah siap berbagi rasa mengatur dan diatur bahkan terikat oleh ikatan perkawinan yang didasari oleh cinta dalam konteks ini cinta berarti menselaraskan dua hati dua keinginan dan dua ambisi yang berbeda menjadi sesuatu yang membahagiakan.Maka bagi wanita karir harus bisa menyempatkan waktu untuk membina dan mendidik anak anaknya.

Mahar Dalam Perkawinan

A.    Pengertian Mahar
Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar dan Nilai Nominal.
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya.
Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan,  perusahaan atau benda berharga lainnya.   Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya.
Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral.
Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri. Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan mengganggu status perkawinannya.
B.    Jenis Mahar Dalam Pernikahan
Masalah jenis barang yang dapat di gunakan untuk mahar, bias berupa sesuatu yang dapat dimiliki atau di ambil manfaatnya, juga dapat di jadikan pengganti atau di tukarkan.
Adapun macam-macamnya, ulama’ fiqih sepakat bahwa mahar itu bisa di bedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a.    Mahar Musamma
Yaitu mahar yang sudah di sebut atau di janjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.
Ulama’ Fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaanya mahar musamma harus di berikan secara penuh apabila:
1.    Telah bercampur (bersenggama)
2.    Apabila salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut Ijma’
b.    Mahar misil (sepadan)
Yaitu mahar yang tidak di sebut besar kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti mahar saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila tidak ada makamisil ini beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajad dengan dia.
Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaansebagai berikut:
    Bila tidak di sebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
    Kalau mahar musamma belum di bayar, sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnyatidak sah.
C.    Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama’
Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal
mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar. Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.
Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya. Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang dirugikan.
Rahmat Hakim berpendapat bahwa besar kecilnya mahar sangat bergantung pada kebiasaan Negara maupun situasi dan kondisinya. Dengan demikian, besarnya mahar yang di berikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan selalu berbeda-beda.
Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal,
sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai. Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.
Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan lafadznya begini: “Saya terima nikahnya dengan maskawin uang senilai 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun.”

Rabu, 20 Juni 2012

thoharoh


THAHARAH
1 Thaharah
       a. Pengertian
Thaharah adalah kebersihan dan terbebas dari segala jenis hadats dan najis. Dalam kitab Lisanul ‘Arab disebutkan thohura thuhran wa thoharotan kata ath thuhur berarti lawan dari haidl.
       b. Pembagian Thaharah
Thaharoh menurut syariat terbagi menjadi dua bagian, yaitu thaharoh dari hadats dengan cara berwudu dan mandi atau tayamum sebagai pengganti keduanya. Serta thoharoh dari hubuts.
A. Wudhlu
Dalil yang mewajibkan wudlu:
ياايها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم و أيديكم إلى المرافق و امسحوا برئوسكم و أرجلكمإلى الكعبينز (المائدة 6)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (al-Maidah 6)
لا يقبل اللّه صلاة بغير طهور و لا صدقة من غلول (بخارى)
Artinya: Allah SWT tidak menerima shalat seseorang tanpa bersuci serta shadaqah dari tipuan”
حديث أبى هريرة رضي الله عنه: عن رسول اللّه ص م فال: إنّ اللّه لا يقبل صلاة أحدكم إذا أحدث حتّى يتوضّأ (بخرى و مسلم)
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah Radliallahu‘anhu, katanya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats sehingga dia berwudlu”. (Bukhari dan Muslim)
2.2.2 Siapa dan kapan diwajibkan wudlu itu
Yang diwajibkan berwudlu adalah Aqil dan Baligh. Adapun waktu yang mewajibkan wudhu adalah ketika hendak mendirikan shalat.
2.2.3 Tata cara wudlu
وعن حمران انّ عثمان رضي اللّه عنه دعا بوضوء فغسل كفّيه ثلاث مرّات ثمّ تمضمض و استنشق و استنثر ثمّ غسل وجحه ثلاث مرّات ثمّ غسل يده اليمن حتّى ينتهي إلى المرفق ثلاث مرّات ثمّ اليسرى مثل ذلك ثمّ مسح برأسه ثمّ غسل رجله اليمن إلى الكعبين ثلاث مرّات ثمّ البسرى مثل ذلك ثمّ قال: رأيت رسول اللّه ص م توضّأ نحو وضوء هذا. (متّفق عليه)
Artinya: Dari Humran bahwa Utsman R.A. meminta air wudhu lalu ia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidungnya lalu menghembuskannya, kemudian ia membasuh wajahnya tiga kali, kemudian ia mencuci tangan kanannya hingga siku tiga kali, kemidian yang kiri seperti itu, kemudian ia mengusap kepalanya, kemudian mencuci kaki kanannya hingga mata kaki tiga kali, kemudian yang kiri seperti itu, kemudian berkata, “Aku melihat Rasulallah SAW berwudhu seperti wudhuku ini. (Muuttafaqu ilaihi)
Masalah 1: para ulama memperdebatkan “apakah niat termasuk syarat sah wudhu?”
Dalam hadits Rasulullah SAW : "إنّما الأعمال بالنّيات"yang artinya sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niatnya.
Imam Maliki, Syafi’I dan Ahmad mengatakan bahwa niat disini termasuk syarat sah wudhu alasannya adalah karena mereka memahami bahwa wudhu ini adalah ibadah mahdah sehingga membutuhkan niat.
Imam Hanafi mengatakan bahwa niat itu bukanlah syarat sah wudhu karena beliau berpendapat bahwa wudhu termasuk ibadah ghairu mahdah.
Masalah 2: Hukum membasuh tangan.
Menurut Imam Syafi’I dan Imam Malik mengkatagorikan bahwa membasuh tangan itu adalah sunnah alasannya mereka memahami hadits dibawah ini tidak menunjukkan kepada perintah wajib
إذا إستيقظ أحدكم من نومه فلا يغمس يده في الإناءحتّى يغسلها ثلاثا فإنّه لا يدرى أين باتت يده (متّفق عليه و هذا الللّفظ لمسلم)
Apabila bangun seseorang diantara kamu dri tidurnya maka janganlah ia selamkan tangannya di bejana sebelum ia cuci tiga kali karena ia tidak tau dimana telah bermalam tangannya. (Muttafaqun ‘Alaih, tetapi ini lafadzh muslim)
Imam Abu Dawud mengatakan bahwa membasuh tangan itu wajib jika orang tersebut baru terbangun dari tidurnya karena ia memahami hadits ini menunjkkan perintah wajib serta kata naum diartikan tidur secara umum. Baik siang atau malam.
Imam Ahmad membedakan antara tidur malam dengan tidur siang. Jika tidur malam berhukum wajib sedangkan tidur siang tidak wajib karena Ia memahami bahwa kata tidur dalam hadits tersebut diartikan dengan tidur malam saja.
Masalah 4: Menyentuh
Syafi’i: kalau orang yang berwudlu menyentuh wanita lain tanpa ada batas, maka wudlunya batal, tapi kalau bukan wanita lain seperti saudara wanita, maka wudlunya tidak batal.
Hanafi: wudlu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh yang sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
Syafi’I dan Hambali: menyentuh itu dapat membatalkan wudlu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Maliki: ada hadits yang mereka riwayatkan yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak (bagian depan), maka membatalkan, tapi jika menyentuh dengan belakangnya, maka tidak membatalkan wudlu.
Hal-hal yang membatalkan wudlu
Semua yang membatalkan wudhu juga membatalkan tayamum. Karena tayamum adalah pengganti wudhu.
عن أنس ابن مالك قال: كان أصحاب رسول اللّه ص م على عهده ينتظر العشاء حتّى تخفق رئوسهم ثمّ يصلّون و لا يتوضّئون. (أخرجه أبو داود و صحّحه الدّار قطنيّ و أصله فى مسلم)
Artinya: Dari Anas bin Malik ia berkata, “Para sahabat Rasulullah SAW pada masa beliau, menunggu shalat isya hingga kepala mereka mengangguk-angguk kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu lagi. (Abu Dawud dan diShahihkan oleh Ad-Darul Qathni dan asalnya terdapat dalam Sahih Muslim)
Terdapat ikhtilaf yang berkaitan dengan hadits yang terdapat diatas, yaitu mengenai masalah tidur itu sendiri. Adapun perbedaan ikhtilaf itu adalah :
Pertama, bahwa tidur itu muthlak membatalkan wudlu dalam kondisi apapun, berdasarkan dari hadits Shafwan bin Assal. Dimana dalam hadits tersebut dikatakan bahwa Beliau menjadikan tidur secara muthlak, seperti buang air besar dan buang air kecil dalam membatalkan wudlu. Sedangkan, dengan redaksi bagaimanapun diriwayatkan tidak terdapat keterangan bahwa Rasulullah Saw. membiarkan mereka atas hal itu, dan Beliau tidak melihat mereka. Dengan demikian maka hal itu adalah perbuatan sahabat yang tidak diketahui bagaimana ia terjadi, sedang yang dapat dijadikan hujjah hanyalah ucapan, perbuatan, atau yang dibiarkan oleh Rasulullah Saw.
Kedua, bahwa tidur tidak membatalkan wudlu secara muthlak berdasarkan hadits yang telah disebutkan oleh Annas dan cerita tidurnya sahabat atas sifat yang terjadi pada mereka. Seandainya tidur membatalkan wudlu,niscaya Allah Swt. tidak akan membiarkan mereka atas hal itu dan akan menurunkan wahyu kepada Rasulullah Saw. berekenaan dengannya,
Ketiga, bahwa tidur membatalkan semuanya, hanya saja dimaafkan tidur dengan dua kali anggukan meskipun berturut-turut, dan beberapa anggukan secara terpisah, ini adalah Madzhab Hadawiyah. Al Khafaqah adalah miringnya kepala karena kantuk, dan batasan satu anggukan yaitu kepala tidak tegak hingga bangun. Barang siapa kepalanya tidak miring dimaafkan baginya sekitar satu anggukan yaitu hanya sekedar condongnya kepala hingga dagu sampai ke dada. Hal ini diqiyaskan atas tidur satu anggukan. Mereka memahami hadits Annas atas kantuk yang tidak menghilangkan kesadaran, pendapat ini tidak diragukan lagi kejauhannya.
Keempat, bahwa tidur tidak membetalkan wudlu dengan sendirinya tetapi hanyalah penyebab batalnya wudlu, maka jika tidur dengan duduk dalam posisi tenang maka tidak membatalkan dan jika tidak maka dapat membatalkan. Ini adalah madzhab Imam Syafi’i. Ia berdalil dengan hadits Ali Radhiyallalu ‘anhu :
Artinya : “ Mata adalah pengikat dubur, maka barang siapa yang tidur hendaklah ia berwudlu.”
Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi, akan tetapi pada sanadnya ada perawi yang tidak dapat dijadikan hujjah, yaitu Baqiyah bin Al Walid, ia meriwayatkan dengan ungkapan ‘an, ia menjadikan hadits Anas bagi tidur dalam posisi tegak, untuk memadukan dua hadits tersebut dan membatasi hadits Shafwan dengan hadits Ali ra ini. Ia berkata, “ Makna hadits Ali ra bahwa tidur adalah penyebab keluarnya sesuatu tanpa terasa, maka dengan itu, tidur membatalkan wudlu dengan sendirinya.
Kelima, jika tertidur dalam posisi orang yang sedang shalat, ruku’, sujud, ataupun berdiri maka wudlunya tidak batal, baik dalam shalat maupun dikuar shalat. Maka jika tertidur dalam keadaan berbaring atau diatas tengkuknya, wudlunya batal berdasarkan hadits ,”Apabila seorang hamba tertidur dalam sujudnya, Allah membanggakannya dihadapan para malaikat, Dia berkata, “Hamba-Ku, ruhnya di sisi-Ku, dan tubuhnya sujud di hadapan-Ku.”
Keenam, bahwa batal, kecuali orang yang sedang ruku’ atau sujud.
Ketujuh, tidur tidak batal ketika dalam shalat.
Kedelapan, tidur tidak membatalkan wudlu jika sedikit, tetapi jika tidur nyenyak maka membatalkan wudlu.
Perbuatan yang disyaratkan untuk berwudlu
       1. Menyentuh Al-Qur’an
Menurut Imam Syafi’I, imam Malik, dan Abu Hanifah, bahwasannya berwudlu itu wajib bagi yang akan menyentuh Al-Qur’an. Sedangkan Ahlu Dzohir berpendapat bahwa boleh menyentuh Al-Qur’an tanpa berwudlu terlebih dahulu. Sebabnya adalah dalam mengartikan kata muthahharuun, apakah bani adam ataukah malaikat. Dan apakah khobar tersebut untuk melarang atau tidak.

C. Tinjauan Penyusun terhadap bedanya pandangan para imam madzhab
Dengan berbagai ayat dan hadits di atas sudah jelas bagi kita bahwa berwudhu itu memang memiliki hukum wajib bagi orang-orang yang akan melakukan shalat.
Kemudian dalam masalah niat apakah menjadi syarat sah wudhu atau tidak. Kami berpendapat bahwa niat merupakan syarat sah. Karena menurut kami wudhu adalah ibadah mahdhah dan ibadah tersebut membutuhkan niat.
Pada masalah kedua dan ketiga kami berpendapat bahwa membasuh tangan sebelum berwudhu adalah sunnah. Begitu pula dengan Madmaghah dan Istinsyak. karena kami berpegangan pada surat al-Maidah ayat 6 dan hadits setelahnya tidak bermakna perintah.