Rabu, 27 Juni 2012

Mahar Dalam Perkawinan

A.    Pengertian Mahar
Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar dan Nilai Nominal.
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya.
Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan,  perusahaan atau benda berharga lainnya.   Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya.
Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral.
Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri. Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan mengganggu status perkawinannya.
B.    Jenis Mahar Dalam Pernikahan
Masalah jenis barang yang dapat di gunakan untuk mahar, bias berupa sesuatu yang dapat dimiliki atau di ambil manfaatnya, juga dapat di jadikan pengganti atau di tukarkan.
Adapun macam-macamnya, ulama’ fiqih sepakat bahwa mahar itu bisa di bedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a.    Mahar Musamma
Yaitu mahar yang sudah di sebut atau di janjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.
Ulama’ Fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaanya mahar musamma harus di berikan secara penuh apabila:
1.    Telah bercampur (bersenggama)
2.    Apabila salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut Ijma’
b.    Mahar misil (sepadan)
Yaitu mahar yang tidak di sebut besar kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti mahar saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila tidak ada makamisil ini beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajad dengan dia.
Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaansebagai berikut:
    Bila tidak di sebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
    Kalau mahar musamma belum di bayar, sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnyatidak sah.
C.    Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama’
Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal
mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar. Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.
Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya. Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang dirugikan.
Rahmat Hakim berpendapat bahwa besar kecilnya mahar sangat bergantung pada kebiasaan Negara maupun situasi dan kondisinya. Dengan demikian, besarnya mahar yang di berikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan selalu berbeda-beda.
Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal,
sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai. Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.
Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan lafadznya begini: “Saya terima nikahnya dengan maskawin uang senilai 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar